MK Tolak Gugatan MAKI Terkait UU KPK

Posted on


Jakarta, SiberNusa

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi atau judicial review Pasal 30 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.

“Mengadili: Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1) petang.

Dalam permohonannya, Boyamin ingin tambahan pemaknaan kata “Presiden” dalam rangka mendapatkan calon pimpinan dan dewan pengawas (dewas) KPK secara sah dan kredibel.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Boyamin mempersoalkan tidak ada kepastian hukum mengenai presiden atau pemerintah periode mana yang berhak membentuk panitia seleksi calon pimpinan dan anggota dewas KPK.

Boyamin beranggapan presiden dan pemerintah hanya dapat membentuk panitia seleksi calon pimpinan dan dewas KPK yang masa jabatannya sama.

Menurut MK, esensi dalil permohonan tersebut sama dengan pertimbangan hukum dalam putusan MK nomor: 160/PUU/XXII/2024.

Di antaranya, sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema empat tahunan berdasarkan Pasal 34 UU KPK telah menyebabkan dinilainya kinerja dari pimpinan KPK yang merupakan manifestasi dari kinerja lembaga sebanyak dua kali oleh presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama.

Penilaian dua kali terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK karena dengan kewenangan presiden maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak dua kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya berpotensi tidak saja memengaruhi independensi pimpinan KPK, tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali pada seleksi calon pimpinan KPK berikutnya.

Perbedaan masa jabatan KPK dengan lembaga independen lain menyebabkan perbedaan perlakuan yang mencederai rasa keadilan karena memperlakukan berbeda terhadap hal yang seharusnya berlaku sama.

Hal demikian bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat 1 UUD NRI 1945.

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai dengan Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 dan menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara constitutional importance yang bersifat independen yaitu selama 5 tahun,” ucap Hakim Konstitusi Saldi Isra.

MK berpendapat pimpinan dan anggota Dewas KPK yang dihasilkan dalam proses seleksi dan disetujui atau diangkat pada pemerintahan yang berbeda akan lebih menjamin independensi KPK karena tidak ada ketergantungan kepada pemerintahan sebelumnya yang terlibat seleksi.

“Pertimbangan hukum putusan MK nomor: 160/PUU/XXII/2024 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum putusan perkara a quo,” kata Saldi.

(ryn/isn)


[Gambas:Video CNN]