WEF Proyeksi Keamanan Siber Global 2025 Makin Kompleks

Posted on

JENEWA – Laporan Prospek Keamanan Siber Global 2025 dari Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) menyoroti meningkatnya kompleksitas lanskap siber global, yang berimplikasi signifikan bagi organisasi dan negara. WEF juga menekankan, kompleksitas tersebut muncul dari berbagai sisi.

Mulai dari, pesatnya pertumbuhan teknologi baru, ketidakpastian geopolitik, ancaman yang berevolusi, tantangan regulasi, kerentanan dalam saling ketergantungan rantai pasokan, hingga kesenjangan keterampilan siber yang semakin besar.

“Dunia maya menjadi lebih kompleks dan penuh tantangan dari sebelumnya karena kemajuan teknologi yang pesat, meningkatnya kecanggihan pelaku kejahatan dunia maya, dan rantai pasokan yang saling terhubung erat,” ucap Direktur Pelaksana WEF Jeremy Jurgens dalam keterangan resmi yang diterima, Jakarta, Senin (13/1).

Dia juga menilai, meningkatnya kompleksitas keamanan siber juga ikut semakin memperburuk ketidakadilan dunia maya. Nantinya, kondisi ini jua disinyalir akan turut memperlebar kesenjangan SiberNusa negara maju dan negara berkembang, memperluas kesenjangan sektoral, serta memperlebar jurang SiberNusa organisasi besar dan kecil.

Baca Juga: Misinformasi Kasus Keamanan Siber Jadi Ancaman Baru Bagi Bisnis

“Karenanya, kolaborasi SiberNusa pemangku kepentingan sektor publik dan swasta sangat penting untuk mengamankan manfaat digitalisasi bagi semua,” sebutnya.

Sementara itu, Global Lead Accenture Security Paolo Dal Cin mengungkapkan, ancaman keamanan siber lebih kompleks dan tidak dapat diprediksi dari sebelumnya dapat berdampak langsung pada stabilitas keuangan organisasi. 

Dia juga mengakui, kondisinya tidak lebih baik dengan kekuatan AI yang disruptif, ditambah kerentanan rantai pasokan dan ketegangan geopolitik. 

“(Semua itu) membutuhkan pendekatan yang lebih proaktif dan kolaboratif untuk memastikan ketahanan siber yang kuat di semua industri,” ungkap Paolo.

Dia pun menggarisbawahi, pimpinan perusahaan alias C-suite patut mengadopsi pola pikir yang mengutamakan keamanan sejak awal.

“Untuk menavigasi tantangan ini dengan percaya diri dengan keamanan siber sebagai pendorong yang menjaga bisnis dan organisasi kita tetap tangguh,” tambahnya.

Baca Juga: OJK: Keamanan Siber-Perubahan Iklim Jadi Tantangan Ekonomi Dunia

Menteri Sains, Inovasi, Teknologi, dan Telekomunikasi Kosta Rika Paula Bogantes Zamora menyampaikan, serangan siber pada 2022 di negaranya bisa menjadi peringatan bagi dunia. 

Serangan ini juga menggarisbawahi perlunya perubahan mendasar di tingkat negara dalam mengakomodasi keamanan siber sebagai investasi penting untuk masa depan, bukan sekadar belanja negara semata

“Melalui perjalanan ini, kami telah menyadari perlunya memperkuat ekosistem kami dengan berkolaborasi dengan negara-negara tetangga untuk meningkatkan ketahanan tidak hanya di Kosta Rika, tetapi juga di seluruh kawasan,” ucap Menteri Paula.

Faktor Percepatan Kompleksitas Risiko Siber
Laporan yang sama juga menyebutkan sejumlah poin yang jadi sumber percepatan kompleksitas dan ketidakpastian siber global. Pertama, meningkatnya saling ketergantungan menimbulkan kerentanan dalam rantai pasokan yang saling berhubungan, yang berkontribusi terhadap meningkatnya kompleksitas di dunia maya.

Kedua, gejolak geopolitik yang terjadi telah memengaruhi persepsi risiko, dengan 1 dari 3 CEO menyebutkan spionase dunia maya dan hilangnya informasi sensitif/pencurian kekayaan intelektual sebagai kekhawatiran utama. Sementara sekitar 45% pemimpin dunia maya mengkhawatirkan gangguan operasi dan proses bisnis.

Baca Juga: 90% Karyawan Keamanan Siber Dan TI Alami Burnout Dan Kelelahan

Ketiga, terdapat paradoks SiberNusa pengakuan risiko keamanan siber yang didorong AI dan penerapan AI yang cepat tanpa perlindungan keamanan yang diperlukan untuk memastikan ketahanan siber. 

Sementara 66% organisasi memperkirakan AI akan berdampak besar pada keamanan siber 2025, hanya 37% yang melaporkan telah memiliki proses untuk menilai keamanan perangkat AI sebelum penerapan.

Keempat, sementara regulasi memperkuat ketahanan siber, sekitar 76% Kepala Keamanan Informasi (CISO) pada Pertemuan Tahunan 2024 tentang Keamanan Siber melaporkan bahwa fragmentasi regulasi menimbulkan tantangan kepatuhan yang signifikan.

Kelima, dari sisi tenaga kerja. Sejak 2024, kesenjangan keterampilan siber telah meningkat sebesar 8%, dengan dua dari tiga organisasi kekurangan bakat dan keterampilan penting untuk memenuhi persyaratan keamanannya. Hanya sekitar 14% organisasi yang yakin memiliki tenaga kerja dengan keterampilan yang dibutuhkan saat ini.

Prospek Keamanan Siber Global 2024 mengungkap ketidakadilan siber yang signifikan, yang memperlihatkan kesenjangan yang mencolok dalam ketahanan SiberNusa organisasi kecil dan besar. Laporan Risiko Global 2024 dari Forum Ekonomi Dunia menemukan bahwa 

Baca Juga: BSSN Ungkap Indonesia Kekurangan SDM Keamanan Siber

Laporan ini juga menekankan, ketidakamanan siber merupakan risiko global dalam berbagai jangka waktu. Dengan risiko siber seperti malware, deepfake, dan misinformasi yang mengancam rantai pasokan, stabilitas keuangan, dan sistem demokrasi.

Selain itu, Prospek Chief Risk Officers dari Oktober 2024 menempatkan risiko siber di SiberNusa tiga ancaman teratas yang sangat memengaruhi organisasi. Sebanyak 71% kepala petugas risiko mengantisipasi gangguan organisasi yang parah karena risiko siber dan aktivitas kriminal.

Pada 2024, insiden pemadaman IT terbesar dalam sejarah, ikut mengganggu maskapai penerbangan, bank, penyiaran, penyedia layanan kesehatan, sistem pembayaran ritel, dan ATM secara global dan menyebabkan kerugian sekitar $5 miliar.

Insiden tersebut menggarisbawahi kerentanan yang berasal dari ketergantungan pada sejumlah kecil penyedia penting. Ancaman siber terus meningkat, dengan 72% responden survei laporan menginformasikan peningkatan risiko siber.

Survei tersebut selanjutnya mengungkapkan, kejahatan siber meningkat baik dalam frekuensi maupun kecanggihannya. Ditandai dengan serangan ransomware, taktik serangan yang disempurnakan AI seperti phishing, vishing, dan deepfake, serta peningkatan yang signifikan dalam serangan rantai pasokan.